Rabu, 29 Februari 2012

Pendidikan Berbasis KARAKTER

Kali ini tulisan yang disajikan penulis mungkin bertema agak berat, tidak seperti biasa yang mengulas kisah perjalanan petualangan atau kelestarian alam. Judul di atas penulis ambil setelah mendengar ceramah ilmiah dari seorang profesor di Surabaya. Sederhana tapi sangat berisi.

Ceramah tersebut diawali dengan mengungkapkan minimnya negara Indonesia dalam prestasi positif internasional dan juga terpuruknya peringkat Indonesia dalam human development index intenasional di antara beberapa negara. Sebut saja index prestasi dari 32 negara dalam hal penyerapan tenaga kerja, Indonesia menempati urutan ke 31. Satu level di atas negara Timor Leste yang berada di urutan terakhir. Prestasi tersebut menempatkan Indonesia di bawah negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Brunei Darussalam. Di sektor pendidikan, Indonesia berada di urutan 114 dari 130 an negara. Dan juga beberapa data yang tidak penulis cantumkan semua. Heran memang mendengar data-data tersebut. Jika dibandingkan dengan banyakanya lembaga pendidikan tinggi di Indonesia yang saat ini meluluskan ribuan mahasiswa berpendidikan setiap tahunnya, maka akan timbul suatu pertanyaan. Apa yang salah? Bukankah sudah cukup dengan ribuan manusia berpendidikan yang dihasilkan oleh negeri ini mengentaskan permasalahan-permasalahan sosial yang ada saat ini? Dalam benak penulis sedikit terbesit ‘apakah justru hal itu yang menambah masalah?’. Pendidikannya-kah yang perlu diperbaiki ataukah manusia-manusia terdidiknya-kah yang perlu dievaluasi?

Sebagaimana pepatah ‘daun jatuh tidak jauh dari pohonnya’, maka pembahasannya kemudian bukanlah pada manusia-manusia-nya, melainkan dari pembentuk manusia itu sendiri. Penulis ungkapkan dengan kalimat ulang ‘pembentuk karakter manusia itu sendiri’. Ya, pendidikan-lah yang selanjutnya menjadi titik pijak bagaimana karakter manusia Indonesia itu terbentuk. Hingga pembahasan ini bertajuk ‘krisis karakter pada sistem pendidikan di Indonesia’.

Banyaknya para lulusan lembaga pendidikan tinggi di Indonesia tidak disertai dengan semakin meningkatnya karakter manusia berpendidikan itu sendiri. Hal ini menjadi tidak mengherankan jika out put nya kemudian adalah para pejabat yang korupsi-lover, pemimpin yang tidak menjunjung tinggi hak-hak keadilan, pegawai yang tidak jujur, dan masih banyak lagi indikator sakitnya karakter bangsa. Tidak perlu memebelalakkan mata lagi ketika melihat para wakil rakyat yang melakukan sidang dengan cara yang kurang arif, sudah disediakan kursi tetapi kurang puas hingga sampai naik ke meja. Tidak hanya itu, kebebasan menyampaikan pendapat nampaknya sudah bukan merupakan keunggulan bagi sistem demokrasi itu sendiri hingga dilakukan dengan cara-cara anarkisme-brutalisme. Dan lagi, penggagasnya tidak lain adalah (maaf) beberapa wakil rakyat kita yang duduk di kursi empuk pdmerintahan tertinggi negara Indonesia (masih ingat kan peristiwa heboh rapat DRP, eh salah, DPR beberapa waktu lalu ?, hehe). Sehingga jika di negara lain yang notabene menggunakan sistem pemerintahan yang sama, pada saat rapat para anggotanya masih menggunakan kalimat pembuka ‘excusme’ yang artinya kurang lebih merepresentasikan sikap hormatnya terhadap persidangan/rapat, namun kurang mantab hal tersebut digunakan lagi di negara ini, sehingga diganti dengan gebrakan meja...??wow!

Hal-hal seperti itulah yang seharusnya menjadi bidang garapan karakter itu sendiri. Namun nampaknya kebijakan pemerintah pun kurang mendukung hal ini, di mana dilakukan pembatasan mata pelajaran karakter tersebut. Penulis frase-kan ulang dengan kalimat yang lebih bebas ‘penghapusan secara perlahan pendidikan karakter’. Sekali lagi ditegaskan bahwa pendidikan karakter tidak bisa diwakili hanya oleh pelajaran kewarganegaraan dan agama. Disayangkan lagi saat ini dua mata pelajaran tersebut sangat dibatasi jam pelajarannya. Karakter yang tentu memiliki cakupan yang lebih dan sangat luas sudah seharusnya menjadi hal yang di-nomor-satu-kan. Sekolah (bc:lembaga-lembaga pendidikan) seharusnya juga menjadi kawah candradimuka penggodokan item ini. Penilaian terhadap karakter juga merupakan suatu materi yang lebih komplek daripada mata pelajaran yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh bidang cakup karakter itu sendiri yang tak terbatas ruang maupun waktu. Waktu yang tersedia 12 tahun untuk pendidikan formal bisa jadi kurang atau bahkan sangat kurang dalam penanaman nilai-nilai karakter terhadap seseorang.

Maka poin selanjutnya adalah bagaimana mengintegrasikan nilai-nilai karakter tersebut di setiap mata pelajaran. Hal itu nampaknya cukup membantu dalam pencetajan karakter dalam diri seorang siswa didik. Pendidikan yang terintegrasi dengan nilai-nilai karakter tersebut selayaknya sudah diambil sebagai langkah jitu memperbaiki sistem pendidikan saat ini. Untuk apa negara punya banyak ahli ekonomi kalau mereka semua koruptor? Untuk apa negara punya banyak ahli hukum jika mereka menggunakan ilmunya untuk memanipulasi hukum? Demikian pula di berbagai sektor ilmu lainnya yang sudah barang tentu masing-masing memiliki ranah negatif yang bisa disusupi manusia-manusia dengan caracter-less. Pendidikan berkarakter digarap mulai tingkat bawah hingga tingkat tinggi pendidikan di Indonesia. Satu hal yang perlu diperhatikan oleh penyelenggara pendidikan dalam menyiapkan pendidikan berbasis karakter ini, salah satunya adalah kesiapan lembaga pendidikan itu sendiri. Mulai dari administrator hingga tenaga pengajarnya. Tidak mudah memang menerapkan sistem pendidikan berkarakter ini, akan tetapi sama sekali bukan berarti berhenti untuk menyerah. Hal ini butuh dukungan dari berbagai lapisan masyarakat.

Jika membentuk karakter yang kurang baik saja bisa, maka sudah barang tentu karakter positif akan lebih mudah diterapkan. InsyaAllah...Amin.

Minggu, 26 Februari 2012

EKSPEDISI BROMO

28-29 Januari 2012, dua hari ekspedisi gunung Bromo dilakukan. Tim yang tak lain adalah sekumpulan pemuda pemakmur masjid –insyAllah- dan juga para pecinta alam (haha mekso..). Tidak puas dengan ekspedisi (bc:rihlah) yang dilakukan sebelumnya yaitu ke pulau sempu , waduk selorejo, dan danau ranu pani kaki gunung semeru, kami tertantang untuk melanjutkannya ke gunung maskot pesona jawatimur itu. Apalagi ditambah dengan kejadian erupsi g.bromo yang terjadi beberapa waktu lalu.
Setelah melakukan konfirmasi dengan pihak pengelola Bromo (cz saat itu cuaca lagi ekstrim, jadi kami pikir sementara Bromo ditutup) kami positif berangkat di waktu yang kami jadwalkan. Tim berangkat dari markaz (bc:pesma) hari Sabtu 28 Januari 2012 sekitar pukul 14.00 WIB. Perjalanan diperkirakan memakan waktu 4 jam dengan menggunakan sepeda motor. Tim sampai di lokasi sekitar pukul 18.30 (haha molor dikit ...).
Sedikit menggambarkan bagaimana kondisi perjalanan yang kami tempuh, di luar dugaan. Selain memang dari kami hanya satu orang yang sudah pernah ke sana (Bromo:red), kebanyakan dari kami belum pernah atau sangat sedikit sekali yang sudah pernah melakukan ekspedisi gunung. Perjalanan dari Malang-Pasuruan kami lalui dengan lancar. Mulai pasuruan hingga mendekati Pananjakan hawa dingin mulai kami rasakan. Perjalanan yang menanjak dan berliku-liku dengan hawa dingin tersebut mau tidak mau musti kami hadapi. Beberapa kejadian terjadi selama perjalanan ekstrim tersebut: di antara kami ada yang sepeda motornya hanya mampu berjalan skitar 3-5 km/jam (hehe maklum cz muatan overload juga jenis sepeda motor yang kurang tepat). Ada juga yang di tengah perjalanan mogok (maklum mas yang dipake adl sepeda sekitar tahun 80-90an). Ada yang terperosok di jalan yang rusak berlumpur, untung tidak ada yang cidera. Hal ini karena semakin dekat dengan tujuan maka medan semakin berkabut tebal, hari yang semakin gelap, dan udara semakin dingin, dan pada saat itu hujan lagi..(bisa dibayangkan). Satu-satunya cahaya di jalan menanjak yang kiri-kanan-nya tebing dan jurang tersebut adalah lampu kendaraan dan senter. Lampu yang kami gunakan pun tidak mampu menembus tebalnya kabut lebih dari 3 meter-an. Ini adalah track pertama kami di sana. Finally, dengan kebersamaan lah semua itu dapat kami lalui. Dengan berjalan saling berdekatan, sepakat pelan-pelan, jika sampai dengan selamat insyAllah selamat semua. Dan jika masuk jurang mungkin juga masuk semuanya (alhamdulillah ini tidak terjadi). Sampai di lokasi hari gelap dan hawa dingin menyusup tulang. Tempat itu kami ketahui selanjutnya bernama PANANJAKAN. Sebuah tempat yang digemari para wisatawan untuk menikmati indahnya komplek pegunungan di taman nasional Bromo-Tengger-Semeru. Kami ketahui suhu saat itu berkisar 5-9o C. Saat itu kondisi masih sepi, karena setelah kami bertanya kepada petugas jaga di sana ternyata memang saat-saat yang ramai adalah hari minggu mulai pukul 3 dinihari sampai pagi. (wow, dengan udara sedingin ini justru ramai,,,pikir kami heran).
Dengan kondisi yang masih sepi tersebut alhamdulillah kami mendapat keuntungan. Ya, meskipun kami sudah sedia membawa tenda dan berbagai perlengkapannya, kami tidak perlu mendirikannya. Kami menginap di musholla yang ada di lokasi tersebut (hehe..mungkin ini juga bisa menjadi tips bagi para pembaca yang ingin ke sana, dengan catatan dari kami: tidak untuk pasangan pranikah dan jangan banyak-banyak orangnya, maksimal 12 orang lah). Dan, setelah berjamaah sholat maghrib jama’ qoshor isya’, malam berselimut hujan dan dingin itu akhirnya berlalu berhias canda tawa dan hangatnya selimut kebersamaan. Meskipun banyak dari kami yang tidak bisa tidur karena dingin, tak terasa waktu menunjuk pukul 04.30, sholat subuh musti kami laksanakan, fiuuh..udara dingin semakin menusuk.. Tak lama setelah berjamaah sholat subuh, mulai terdengar riuh ramai pengunjung di luar musholla, dan benar apa yang dikatakan petugas wisata tadi malam.
Setelah berkemas, kami langsung bergegas keluar musholla menuju ‘view point’ di tempat itu (bukan karena apa-apa, kami sadar teman, tempat itu adalah tempat umum. Mungkin kalau itu bukan tempat umum kami akan ber-bismikallahumma ahya wa amuut hingga hari agak hangat, hehe). Sekian jam kami lalui di tempat terbuka berkabut-basah-dingin tersebut. Menurut cerita orang-orang, dari tempat bernama ‘view point’ tersebut kita bisa melihat keindahan sun rise dari balik g.Bromo. Tapi penulis sendiri heran, karena yang terlihat sejak tadi hingga sekitar pukul 06.30 hanyalah gumpalan kabut tebal, dan bukankah pada jam tersebut adalah waktu normal matahari terbit..??.
Sekian lama menunggu ‘gosip’ yang tak kunjung nyata keberadaannya tersebut kami mendapat berita bahwa hari itu para wisatawan belum bisa menikmati keindahan fenomena alam tersebut karena cuaca yang kurang baik. Ya sudaaahlaah. Apapun yang terjadi....janganlah kau bersedih....cz everythin’s gonna be OK. Bgitulah kira2 pesan moral yang ada dalam lagunya Bang Bondan. Bagi penulis sendiri masih banyak sekali keindahan lain yang bisa dihayati dan menunjukkan kebesaran Allah SWT Sang penguasa alam semesta.
Setelah cukup kami menikmati dinginnya hawa pegunungan, kami memutuskan untuk turun gunung. Bukan pulang, tapi ekspedisi sebenarnya ke g.Bromo. Perjalanan turun tidak kalah ekstrim nya dengan perjalanan kemarin ketika naik. Kali ini yang kami hadapi adalah jalan rusak berbatu dengan turunan tajam. Antara yakin dan tidak kami dapat melewatinya, keputusan pun berpihak pada gunung Bromo. Setelah beberapa saat memicu adrenalin, alhamdulillah sampai juga di batas tepi luar dari lautan pasir, dan kami awali dengan menelusuri lautan pasir yang luas. Subhanallah, kami kagumi keindahannya, bersanding dengan gunung batok (pd awlnya kami mengira itulah g.Bromo, mklum blm prnah ksana..) yang berdiri tegak berkulit hijau.
Decak kekaguman pun terus mengalir. Puas mengarungi lautan pasir, di hadapan kami menjulang gunung pasir dengan banyak pengunjung di sana, dan, itulah tujuan utama kami, gunung Bromo. Tanpa berlama-lama kami langsung memarkir kendaraan melangkahkan kaki ini mengantar rasa ingin tahu yang besar seperti apakah keindahan kawah Bromo yang selama ini hanya cerita.
Rasa lelah-pun serasa sirna seketika di hadapan kami menjulang tangga yang menjadi jalan terakhir menuju puncak Bromo –yang di situlah kami nanti bisa melihat langsung seperti apakah kedahsyatan kawah Bromo setelah meletus beberapa waktu lalu-. Dan, alhamdulillah kaki ini pun mencapai puncak tertinggi gunung Bromo. Maha Besar Allah dengan segala kekuasaan dan ciptaanNYA, yang akhirnya lagi-lagi mengingatkan bahwa kami adalah hamba yang sangat kecil, lemah, dan tidak berhak sedikitpun sombong di hadapanNYA. Alhamdulillah...
Ekspedisi tersebut berakhir menjelang waktu sholat Dhuhur pada hari Ahad 29 Januari 2012.

Jumat, 20 Januari 2012

Muslim Cerdas Peduli Lingkungan. Part (1) : Care

Indonesia adalah negara yang dikaruniai Allah SWT berlimpah kekayaan alam. Tanah pertanian yang begitu subur, hasil tangkapan laut yang meruah, dan tentu tak kalah banyaknya bijih pertambangan yang sampai sekarang menggiurkan negara mana saja untuk iri serta ingin memilikinya. Seakan-akan Allah SWT telah menganaktirikan negeri ini dibanding negeri-negeri lainnya di dunia ini. Hingga seorang penyair ternama mengumpamakan kekayaan alam ini dengan ungkapan ‘lautan Indonesia adalah kolam susu, tongkat-pun bisa menjadi tanaman yang tumbuh subur di negeri ini’. Tentu saja apabila berlimpahruahnya kekayaan alam tersebut dikelola dengan cara-cara yang baik serta memperhatikan norma-norma yang ada untuk kepentingan penduduk negerinya, bisa dipastikan kesejarteraan akan meliputi penduduk negeri Indonesia ini.


Namun tampaknya fakta yang terjadi tidak demikian. Kesejahteraan penduduk negeri ini tidak begitu saja terjamin dengan banyaknya kekayaan alam yang ada. Dari hasil pendataan kesejahteraan sosial yang dihimpun berbagai lembaga penghimpun data di Indonesia, angka kemiskinan dan ketidaksejahteraan penduduk Indonesia setiap tahunnya menunjukkan jumlah yang cukup membuat siapapun yang mengetahuinya mengelus dada. Belum lagi jika kita lihat fakta langsung di lapangan, bisa jadi lebih ngeri lagi. Alam yang dahulunya subur bersemi hijau, saat ini seakan-akan semakin memudar menjadi hijau kecoklatan. Bukan hanya itu, flora dan fauna yang menjadi maskot kenyamanan negeri ini sebagai tempat tinggal mereka seakan-akan hanya menyisakan cerita selagi menghitung mundur detik kepunahan. Eksplorasi hasil tambang yang dilakukan oleh orang-orang rakus tak mampu lagi dibendung dengan teriakan rakyatnya ‘jangan rusak hutan kami...’. Sungguh memprihatinkan sebenarnya melihat tangis pilu alam negeri seribu pulau ini. Seakan tak kuat lagi menyaksikan penyiksaan alam yang terus-menerus dilakukan orang-orang yang tak bertanggungjawab, rakyat hanya mampu berbisik ‘kita bisa apa...’. Menyiratkan keputus-asaan yang begitu besar di benak setiap orang.

Tetapi, apakah memang kita benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa? Apakah kaki-kaki kecil ini sudah tidak sanggup lagi mengantar harapan kepada alam negeri ini untuk kembali ke masa keemasannya? Tidak! Sungguh masih ada secercah harapan untuk membuat alam ini kembali tersenyum. Mengembalikannya ke saat di mana penduduk negeri ini dapat berharmonisasi dengan alamnya. Sebagai seorang muslim tentunya tidak ada kata putus asa dalam suatu perjuangan ke arah yang lebih baik. Termasuk dalam ikut berperan menjadikan alam ini menghentikan tangisnya.

Tak ada lagi kata ‘nanti’ ataupun ‘besok saja’ untuk segera mengambil tindakan. Dengan tidak meremehkan hal-hal yang (kita anggap) sepele, maka sudah seharusnya setiap kita melakukan aksi sejauh yang kita mampu. Tidak pula harus bergabung dengan kelompok pecinta alam, ataupun organisasi rehabilitasi flora-fauna yang telah banyak berdiri. Anggapan bahwa hanya merekalah yang memiliki peran dalam menjaga kelestarian alam lingkungan ini adalah suatu anggapan yang salah besar. Namun setidaknya kita harus ikut merasa bangga kepada mereka yang tentu telah melakukan banyak langkah positif untuk menjaga alam ini tetap ‘hidup’. Akan tetapi selayaknya kita tidak berhenti sampai di sini saja, hanya menunggu dan menunggu hasil dari kerja mereka, sedangkan kita justru terninabobokkan oleh kesenangan-kesenangan yang melenakan sebuah tanggungjawab bersama, bahwa kita juga memiliki kewajiban pelestarian itu. Yang lebih parah lagi, di satu sisi kita mendukung program-program yang mereka selenggarakan, namun di sisi lain kita gemar melakukan hal-hal yang justru merusak lingkungan, baik secara sadar maupun tidak.

Bagaimana tidak, di berbagai daerah sedang digalakkan program penghijauan terhadap lingkungan yang gersang, tetapi di belahan daerah lain justru marak sekali terjadi penggundulan hutan. Padahal jika kita tahu, sebuah pohon tumbuh mulai bibit hingga besar adalah tidak dalam waktu sehari! Belum lagi dampak negatif yang ditimbulkan oleh penggundulan ini tidak hanya akan mengganggu kelangsungan hidup manusia, akan tetapi seluruh makhluk hidup yang ada di daerah tersebut. Itu baru satu kasus. Masih banyak sekali kasus lain yang serupa dengan ‘program penyiksaan alam’ seperti itu.

Untuk itu, sudah seharusnyalah kita sebagai umat Islam menjadi umat yang cerdas, umat yang peduli terhadap keadaan lingkungannya. Karena tentu di lingkungan inilah kita hidup, berharmonisasi dengan alam, dan menjadikan alam ini sahabat kita, kita adalah sahabat bagi mereka. Mari beraksi di lingkungan kita masing-masing...