Senin, 20 September 2010

Mengkritisi Momen Mudik Lebaran

Hari raya Idul Fitri sebagai hari raya Islam , setiap tahun diikuti oleh seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Hari yang jatuh pada tanggal 1 bulan Syawal ini menjadi hari yang dibanggakan dan ditunggu kehadirannya oleh umat Islam karena hari tersebut merupakan hari di mana umat Islam baru saja selesai menjalankan puasa Ramadhan selama satu bulan. Tidak jarang umat Islam merayakan hari kebanggaan itu dengan suatu kegiatan rutin. Termasuk di Indonesia, sebagian besar umat Islam di Indonesia menyambut dan atau mengiringi kehadiran hari raya Idul Fitri ini dengan kegiatan pulang kampung atau mudik.
Suatu rutinitas yang menjadi media silaturahim antar masyarakat muslim. Kebanyakan umat Islam di Indonesia mulai melaksanakannya di hari-hari akhir bulan Ramadhan, ketika instansi-instansi mulai menetapkan libur hari raya kepada para karyawannya, begitu pula ketika lembaga-lembaga pendidikan sudah menetapkan hari libur bagi siswa-siswanya. Jika ditelaah lebih dalam pada kegiatan mudik ini, ada dua catatan yang nampaknya perlu dikritisi.
Catatan pertama adalah catatan positif, yaitu bahwa kegiatan ini bermanfaat bagi umat Islam terutama dalam hal silaturahim, mempererat tali persaudaraan antar sanak saudara terutama yang masih memiliki tautan keluarga. Catatan kedua adalah catatan negatif, yang mungkin masih ada sebagian besar umat Islam yang belum menyadarinya. Yang saya maksud di sini adalah sisi ruh ibadah Ramadhan itu sendiri. Dengan kegiatan rutinitas mudik tersebut, rutinitas ibadah yang harusnya semakin meningkat pada akhir bulan Ramadhan menjadi berkurang atau mungkin bahkan terhenti karena harus mempersiapkan segala sesuatu untuk bekal yang akan dibawa pada saat mudik. Dalam kondisi yang bersemangat dalam melakukan segala bentuk ibadah di bulan Ramadhan, seseorang terpaksa sejenak meninggalkannya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan dijadikannya bekal mudik, meskipun tetap tidak bisa dipungkiri bahwa bisa jadi di daerah mudiknya ia akan semakin bersemangat melakukan ibadah di sisa-sisa hari bulan Ramadhan. Keadaan lain yang ada adalah konstan, yaitu tidak ada perbedaan semangat beribadah baik di daerah rantauan maupun di kampung halamannya. Akan tetapi yang lebih banyak ditemui adalah penurunan semangat dalam beribadah, bahkan menghilang sama sekali semangat ibadahnya dengan digantikan oleh aktivitas-aktivitas lain dalam rangka mempersiapkan kedatangan hari raya Idul Fitri dengan persiapan-persiapan fisika maupun nonfisik.
Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di masa Rasulullah SAW, di mana pada masa itu para sahabat semakin bersemangat dan giat dalam beribadah di akhir bulan Ramadhan. Ada setidaknya tiga hal yang menjadi titik perbedaan perlakuan akhir Ramadhan oleh para sahabat dibanding dengan apa yang dilakukan umat Islam di Indonesia pada umumnya:
1.Para sahabat memiliki rasa tidak ingin kehilangan sedetik pun waktu di bulan Ramadhan untuk beribadah kepada Allah SWT. Hal ini terjadi karena para sahabat mengetahui dan memahami secara seksama hikmah pentingnya sekecil apapun ibadah yang dilakukan di bulan Ramadhan, bahwa di setiap titik amalan mendapatkan balasan pahala yang berlipat, sebaliknya di setiap titik perbuatan maksiat akan mendatangkan siksa yang berlipat pula.
2.Para sahabat merasa seolah-olah bulan Ramadhan yang mereka jalani pada saat itu adalah bulan Ramadhan terakhir yang mereka temui dalam hidup mereka. Dengan menimbulkan perasaan seperti itu, seseorang akan terus terpacu untuk selalu semangat dalam mengerjakan ibadah-ibadah di bulan Ramadhan.
3.Umat Islam di Indonesia kurang persiapan dalam menghadapi momen akhir Ramadhan, yang saya maksud di sini adalah persiapan batin. Hal ini bisa jadi karena terkalahkan konsentrasinya oleh persiapan mudik lebaran, atau persiapan hari lebaran itu sendiri (bagi yang tidak mudik). Terlepas dari persoalan ada atau tidaknya malam lailatul qadar di malam-malam akhir Ramadhan, ibadah yang secara rutin dan normal dilakukan di awal bulan Ramadhan pun ditinggalkan. Seakan hari-hari akhir bulan Ramadhan layaknya hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan.
Jadi, kesimpulannya kegiatan mudik dalam rangka persiapan menyambut hadirnya hari raya Idul Fitri merupakan kegiatan positif bagi umat Islam itu sendiri. Tetapi mustikah aktivitas positif yang awal mulanya berasal dari kebiasaan itu mengalahkan ‘positif’nya kekhusyukan ibadah yang lebih dahulu ditekankan dan ada tuntunannya sejak perintah puasa itu ada? Allahu a’lam.

Sabtu, 04 September 2010

Sebuah Salam Persaudaraan

Assalamu'alaikum....
Selamat datang bagi rekan-rekan pembaca blog ini,
Tidak ada tujuan lain dari blog keren ini selain tawassau semata,
Semoga dapat menjadi media yang mempererat tali ukhuwwah kita,
Tunggu postingan terKEREN yang akan datang.
Mau kasih saran, kritik, atau apapun, mari saling tawassau bil haq n bis shobr,
oyiie?
Wassalamu'alaikum...
by: musafirtangguh
ridhohanaficahmagetan@gmail.com