Senin, 01 November 2010

Pesan Dari Alam

Tangisan alam yang kita saksikan,
Apa hanya untuk disaksikan?
Jeritan alam yang kita dengarkan,
Apa hanya untuk didengarkan?
Atau bahkan mungkin kita sama sekali tidak menyaksikan,
maupun mendengarkan tangisan dan jeritan itu?
Apa kita sudah bosan karena itu sudah sering terjadi......?
Atau kita sudah tidak mau peduli?
Tidak mau tahu?
Merasa aman karena jerit tangis itu tidak menyentuh kita,,, tidak ada sangkut pautnya dengan kita....?
Lalu di manakah kita saat ini?
Saudaraku,,,
Memang itu semua adalah fenomena alam.
Tapi apa hanya untuk di-fenomena-kan?
Dengan membiarkannya terjadi dan terus terjadi begitu saja?
Dengan ratusan mayat berserakan dan tersia-siakan di mana-mana?
Dan dengan onggokan puing bangunan yang luluh lantak tak tersisa..?
Semua musnah !
Coba kita perhatikan,,,
Bukankah semakin lama air mata alam ini menetes semakin deras?
Bukankah semakin lama jeritan alam ini terdengar semakin keras?
Dan kita pun terdiam.....
Lalu untuk siapakah alam ini menangis dan menjerit.....?
Saudaraku,,,
Aku sangat kasihan dengan keadaan alam ini, karena dalam jerit tangis-nya kudengarkan seolah ia berbisik..:
“wahai manusia, ku telah lama menderita dan tersakiti oleh kalian,
ku tak tahan lagi dengan ulah kalian, karena kalian terus merusak-ku,
kalian campakkan aku, kalian tidak pernah mempedulikan aku,
dan kalian hidup dengan seenak kalian sendiri tanpa aturan...”
Ya Allah...maafkan kami, karena selama ini telah kami dholimi alam anugerahMU...

Selasa, 26 Oktober 2010

Kasih SayangNYA Lebih Besar

Kadang kala kita pernah berfikir, mengapa begitu banyak maksiat yang merajalela,padahal beberapa kali Allah memberikan berbagai peringatan kepada umat manusia dengan berbagai bencana yang menimpa, mulai dari bencana alam hingga bencana non alam seperti bencana kelaparan, ekonomi, bencana moral, dan lain-lain.

Di sisi lain, Allah SWT telah menegaskan bahwa Dia Maha perkasa dan Maha keras siksaNYA terhadap orang-orang yang menyekutukanNYA, melangggar batasan-batasan yang Ia jelaskan di dalam al Qur'an dan beberapa di hadits Rasulullah SAW. Mengapa tidak serta merta saja secara langsung Allah menurunkan adzab sebagaimana yang diturunkan kepada umat-umat terdahulu, di mana mereka ditimpa adzab yang sangat dahsyat yang langsung melenyapkan mereka dari muka bumi.

Rentetan pertanyaan di atas sering terngiang mungkin di benak kita. Namun, hal itu bisa dijawab dengan mempelajari dan memahami al Qur'an secara istiqomah dan komprehensif. Allah SWT adalah Maha Sempurna. Dia juga Maha keras siksaNYA. Namun jangan dilupakan bahwa Dia juga Maha Pengasih lagi Penyayang. Hal ihwal adanya bencana serta penyebab-penyebabnya juga sudah jelas dan gamblang diterangkanNYA dalam al Qur'an. Namun bagi mereka yang tidak mau/enggan mempelajari al Qur'an, mana mungkin ia akan memahami isi al Qur'an tentang hal tersebut?

Banyak dari para ulama juga menjelaskan bahwa sifat kasih sayang Allah itu lebih besar dari murkaNYA. Hal ini bukan berarti Allah membiarkan begitu saja orang-orang yang melanggar aturanNYA di muka bumi ini tanpa sebuah perhatian sedikitpun. Allah tidak langsung mengadzab pelaku maksiat di muka bumi ini (kecuali beberapa maksiat yang memang adzabnya langsung) adalah suatu bukti kasih sayangNYA. Dia masih memberikan kesempatan kepada para pelaku maksiat itu untuk memperbaiki diri/bertaubat. Hal ini juga jelas dari beberapa ayat berikut, mari kita buka: Surat Ibrahim ayat 41-47, surat al A'raf ayat 182-183, surat al Qalam ayat 44-45, dan surat al Kahfi ayat 58-59.

Di sini saya sengaja tidak menuliskan teks arab maupun arti ayat-ayat tersebut secara keseluruhan karena panjang. dan pastinya saya yakin para pembaca yang budiman akan lebih penasaran tentang bunyi dan arti ayat-ayat tersebut sehingga langsung membukanya sendiri. Dalam beberapa ayat di atas, telah dengan jelas dan terang-terangan Allah menangguhkan adzab bagi orang yang berbuat maksiat (bc:berbuat kerusakan) dengan kasih sayangNYA. Subhanallah, betapa sebuah hikmah yang besar, betapa Maha Pengasih dan Penyayangnya Allah, yang kita sering lupa kan hal itu. So, penulis mengajak terutama kepada penulis sendiri mari kita manfaatkan kesempatan yang ada ini untuk memperbaiki dan terus memperbaiki diri, tanpa pernah sedikitpun merasa bahwa kita sudah termasuk orang-orang yang disayangi Allah, karena belum tentu. Allahu A'lam.

Senin, 20 September 2010

Mengkritisi Momen Mudik Lebaran

Hari raya Idul Fitri sebagai hari raya Islam , setiap tahun diikuti oleh seluruh umat Islam di seluruh penjuru dunia. Hari yang jatuh pada tanggal 1 bulan Syawal ini menjadi hari yang dibanggakan dan ditunggu kehadirannya oleh umat Islam karena hari tersebut merupakan hari di mana umat Islam baru saja selesai menjalankan puasa Ramadhan selama satu bulan. Tidak jarang umat Islam merayakan hari kebanggaan itu dengan suatu kegiatan rutin. Termasuk di Indonesia, sebagian besar umat Islam di Indonesia menyambut dan atau mengiringi kehadiran hari raya Idul Fitri ini dengan kegiatan pulang kampung atau mudik.
Suatu rutinitas yang menjadi media silaturahim antar masyarakat muslim. Kebanyakan umat Islam di Indonesia mulai melaksanakannya di hari-hari akhir bulan Ramadhan, ketika instansi-instansi mulai menetapkan libur hari raya kepada para karyawannya, begitu pula ketika lembaga-lembaga pendidikan sudah menetapkan hari libur bagi siswa-siswanya. Jika ditelaah lebih dalam pada kegiatan mudik ini, ada dua catatan yang nampaknya perlu dikritisi.
Catatan pertama adalah catatan positif, yaitu bahwa kegiatan ini bermanfaat bagi umat Islam terutama dalam hal silaturahim, mempererat tali persaudaraan antar sanak saudara terutama yang masih memiliki tautan keluarga. Catatan kedua adalah catatan negatif, yang mungkin masih ada sebagian besar umat Islam yang belum menyadarinya. Yang saya maksud di sini adalah sisi ruh ibadah Ramadhan itu sendiri. Dengan kegiatan rutinitas mudik tersebut, rutinitas ibadah yang harusnya semakin meningkat pada akhir bulan Ramadhan menjadi berkurang atau mungkin bahkan terhenti karena harus mempersiapkan segala sesuatu untuk bekal yang akan dibawa pada saat mudik. Dalam kondisi yang bersemangat dalam melakukan segala bentuk ibadah di bulan Ramadhan, seseorang terpaksa sejenak meninggalkannya untuk mempersiapkan segala sesuatu yang akan dijadikannya bekal mudik, meskipun tetap tidak bisa dipungkiri bahwa bisa jadi di daerah mudiknya ia akan semakin bersemangat melakukan ibadah di sisa-sisa hari bulan Ramadhan. Keadaan lain yang ada adalah konstan, yaitu tidak ada perbedaan semangat beribadah baik di daerah rantauan maupun di kampung halamannya. Akan tetapi yang lebih banyak ditemui adalah penurunan semangat dalam beribadah, bahkan menghilang sama sekali semangat ibadahnya dengan digantikan oleh aktivitas-aktivitas lain dalam rangka mempersiapkan kedatangan hari raya Idul Fitri dengan persiapan-persiapan fisika maupun nonfisik.
Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di masa Rasulullah SAW, di mana pada masa itu para sahabat semakin bersemangat dan giat dalam beribadah di akhir bulan Ramadhan. Ada setidaknya tiga hal yang menjadi titik perbedaan perlakuan akhir Ramadhan oleh para sahabat dibanding dengan apa yang dilakukan umat Islam di Indonesia pada umumnya:
1.Para sahabat memiliki rasa tidak ingin kehilangan sedetik pun waktu di bulan Ramadhan untuk beribadah kepada Allah SWT. Hal ini terjadi karena para sahabat mengetahui dan memahami secara seksama hikmah pentingnya sekecil apapun ibadah yang dilakukan di bulan Ramadhan, bahwa di setiap titik amalan mendapatkan balasan pahala yang berlipat, sebaliknya di setiap titik perbuatan maksiat akan mendatangkan siksa yang berlipat pula.
2.Para sahabat merasa seolah-olah bulan Ramadhan yang mereka jalani pada saat itu adalah bulan Ramadhan terakhir yang mereka temui dalam hidup mereka. Dengan menimbulkan perasaan seperti itu, seseorang akan terus terpacu untuk selalu semangat dalam mengerjakan ibadah-ibadah di bulan Ramadhan.
3.Umat Islam di Indonesia kurang persiapan dalam menghadapi momen akhir Ramadhan, yang saya maksud di sini adalah persiapan batin. Hal ini bisa jadi karena terkalahkan konsentrasinya oleh persiapan mudik lebaran, atau persiapan hari lebaran itu sendiri (bagi yang tidak mudik). Terlepas dari persoalan ada atau tidaknya malam lailatul qadar di malam-malam akhir Ramadhan, ibadah yang secara rutin dan normal dilakukan di awal bulan Ramadhan pun ditinggalkan. Seakan hari-hari akhir bulan Ramadhan layaknya hari-hari biasa di luar bulan Ramadhan.
Jadi, kesimpulannya kegiatan mudik dalam rangka persiapan menyambut hadirnya hari raya Idul Fitri merupakan kegiatan positif bagi umat Islam itu sendiri. Tetapi mustikah aktivitas positif yang awal mulanya berasal dari kebiasaan itu mengalahkan ‘positif’nya kekhusyukan ibadah yang lebih dahulu ditekankan dan ada tuntunannya sejak perintah puasa itu ada? Allahu a’lam.

Sabtu, 04 September 2010

Sebuah Salam Persaudaraan

Assalamu'alaikum....
Selamat datang bagi rekan-rekan pembaca blog ini,
Tidak ada tujuan lain dari blog keren ini selain tawassau semata,
Semoga dapat menjadi media yang mempererat tali ukhuwwah kita,
Tunggu postingan terKEREN yang akan datang.
Mau kasih saran, kritik, atau apapun, mari saling tawassau bil haq n bis shobr,
oyiie?
Wassalamu'alaikum...
by: musafirtangguh
ridhohanaficahmagetan@gmail.com